Analisis
Roman Gadis Pantai - Pramoedya Ananta Toer
oleh Bahari Adji
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masuknya
Penjajah Belanda ke Nusantara ini, telah membawa sistem sosial masyarakat yang
sangat melekat pada masyarakat Indonesia. Salah satunya sistem sosial feodalisme, yang
merupakan sistem sosial politik yang memberikan kekuasaan yang besar kepada
golongan masyarakat Bangsawan.Sistem feodaliasme berkembang di seluruh
Nusantara terutama di daerah Jawa Tengah.Dengan kesewenang-wenangan yang
disebabkan sistem ini, telah membuat jurang pemisah antara rakyat biasa dengan
Golongan Bangsawan atau Priyayi.
Pramoedya
Ananta Toer sengaja menghadirkan sebuah Roman Trilogi ‘Gadis Pantai’ untuk
mengungkapakan betapa kejamnya sistem feodalisme Jawa pada saat itu yang
mengantarkan pada kesengsraan rakyat. Dalam roman tersebut Pram menghadirkan
sosok gadis anak seorang nelayan yang mewakili rakyat biasa, mendapatkan
perlakuan semena-mena dari seorang Bendoro mewakili golongan Bangsawan yang
tidak lain adalah suaminya. Meskipun perlakuan semena-mena itu bukan berupa
perlakuan fisik namun lebih ke arah psikis, yaitu di mana dia tidak dihormati
sebagai seorang istri, dikekang dan diusir dari kediamannya setelah ia
melahirkan anak perempuan hasil dari hubungan dengan Bendoro.Roman tersebut
terdiri dari tiga jilid, namun jilid kedua dan ketiga musnah akibat ‘keganasan’
penguasa pada masa lalu.Akan tetapi dari jilid pertama sudah memberikan
gambaran mengenai ‘kekesalan’ Pram terhadap sistem feodalisme.Hal ini merupakan
perjuangan kepengarangan Pram yang merupakan bagian dari LEKRA yang mengusung
perlawanan feodalisme dan mengangkat ideologi realisme sosialis.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana latar
belakang keperangan Pramoedya Ananta Toer?
2.
Bagaimanasinopsis
dan analisis novel Gadis Pantaimelalui pendekatan objektif ?
3.
Bagaimana sisi
menarik dalam novel Gadis Pantai?
4.
Bagaimana
relevansi fenomena feodalisme jawa dengan konteks ke kinian ?
C.
Tujuan penulisan
1.
Mengatahui
latar belakang keperangan Pramoedya Ananta Toer
2.
Mengetahuisinopsis
esai dan analisis novel Gadis
Pantai melalui pendekatan objektif.
3.
Mengetahui sisi
menarik dalam novel Gadis Pantai.
4.
Mengetahui
relevansi feodalisme jawa dengan konteks ke kinian.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Keperangan Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya
Ananta Toer lahir pada 1925 di Blora, Jawa Tengah, Indonesia. Hampir separuh
hidupnya dihabiskan dalam penjara-sebuah wajah
semesta yang paling purba bagi manusia-manusia bermartaba t: 3 tahun dalam
penjara kolonial, 1 tahun dalam penjara Orde Lama, dan 14 tahun yang melelahkan
di Orde Baru (13 Oktober 1965-Juli 1969, pulau Nusakambangan Juli 1969-16
aguatus 1969, pulau Buru Agustus 1969-12
November 1979, Magelang/Banyumanik November-Desember 1979) tanpa proses
pengadilan.
Pada tanggal 21
Desember 1979, Pramoedya Ananta Toer mendapat surat pembebasan secara hukum
tidak bersalah dan tidak terlibat dalam G 30 S PKI tetapi masih dikenakan
tahanan rumah, tahanan kota, tahanan negara, sampai 1999 dan wajib lapor ke
Kodim Jakarta Timur satu kali seminggu selama kurang lebih satu tahun. Beberapa
karyanya lahir dari tempat purba ini, di antaranya Tetralogi Buru (Bumi
Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca).
Penjara tak
membuatnya berhenti sejengkal pun dari menulis. baginya, menulis adalah tugas
pribadi dan nasional. Dan ia konsekuen terhadap semua akibat yang ia peroleh.
Berkali-kali karyanya dibakar.
Dari tangannya
yang dingin telah lahir lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih
dari 42 bahasa asing. Karena kiprahnya di sastra dan kebudayaan, Pramoedya
Ananta Toer dianugerahi pelbagai penghargaan internasional. Sampai kini, ia adalah satu-satunya wakil Indonesia yang namanya
berkali-kali masuk dalam daftar Kandidat Pemenang Nobel Sastra.[1]
B. Sinopsis dan Analisis Novel Gadis Pantai melalui pendekatan
Objektif
1. Sinopsis Novel Gadis
Pantai
Roman ‘Gadis Pantai’ menceritakan tentang
seorang Gadis Pantai (namanya memang demikian, alias tidak memiliki nama)
sebagai tokoh utama. Ia adalah gadis belia dari pesisir pantai utara Jawa
Tengah, di sebuah kampung nelayan yang miskin, berlokasi di Rembang. Tak
seperti perempuan pesisir pada umumnya yang berkulit hitam, Gadis Pantai ini
berkulit putih bersih dengan mata sipit. Kecantikanya memikat hati seorang
pembesar santri setempat yang tinggal di kota, yaitu seorang yang bekerja pada
administrasi Belanda. Pembesar yang disebut ‘Bendoro’ itu tinggal di sebuah
Gedung Besar di kota Rembang. Gadis Pantai yang baru berusia 14 tahun itu,
dipaksa oleh Emak dan Bapaknya untuk menikah dengan Bendoro dengan harapan ia
akan bahagia sekaligus mengangkat derajat Emak dan Bapaknya jika bersedia
diboyong ke Keresidena atau Gedung Besar tempat tinggal Bendoro.
Pernikahan antara Gadis Pantai dengan Bendoro
hanya diwakili oleh sebilah keris. Hal ini dikarenakan Gadis Pantai hanya
dijadikan istri sementaranya, teman seranjang, dan bukan sebagai teman
hidupnya.Pernikahan yang sesungguhnya bagi Bendoro adalah pernikahan dengan
wanita priyayi yang sederajat dengan dia.
Setelah Gadis Pantai menikah dengan Bendoro,
kemudian ia dibawa ke Gedung Besar tempat tinggal Bendoro. Mula-mula Ia merasa
seperti dalam “penjara”, ia hanya bisa berkomunikasi dengan seorang pelayan tua
atau biasa disebut “sahaya”, tidak boleh bertemu dengan orang lain. Berbeda
seperti ketika di kampungnya yang bebas bermain sepuasnya. Namun lambat laun,
melalui cerita-cerita dan nasihat-nasihat dari pelayan tuanya itu, Gadis Pantai
luluh dan mengerti apa yang harus dilakukan yaitu mengabdi dan taat kepada
Bendoro yang tak lain adalah Suaminya.
Gadis Pantai juga mulai mengisi hari-harinya
dengan kegiatan yang berguna, sepertimanyulam, membatik dan belajar mengaji
yang tentunya semuanya diajarkan oleh gurunya. Ditahun kedua pernikahanya
dengan Bendoro, ia mulai lebih mengakrabkan diri dengan Bendoro. Apabila
ditinggal pergi Bendoro, ia merasa kesepian dan menjadi pencemburu, karena ia
telah memahami kedudukanya sebagai ‘Wanita Utama’ walaupun hanya sementara.
Ditahun kedua itu juga pelayan tuanya diusir oleh Bendoro dari Gedung Besar,
karena suatu masalah yang tidak begitu besar.Hal ini membuat Gadis Pantai
merasa kesepian dan merasa tak ada lagi pembimbing bagi dirinya ketika ada
suatu masalah.
Tentu saja ada yang tak suka dengan keberadaan
Gadis Pantai di rumah Bendoro, terutama dari keluarga besar si Bendoro
sendiri.Mereka mengharapkan Bendoro secepatnya mengambil istri yang sederajat.
Seorang Bendoro Demak yang menginginkan putrinya kawin dengan si Bendoro
akhirnya mengutus Mardinah untuk menghabisi Gadis Pantai, dengan imbalan
Mardinah akan diangkat menjadi istri kelima. Rencana dilaksanakan ketika Gadis
Pantai pulang ke rumahnya di pinggir pantai, namun gagal.
Gadis Pantai kemudian hamil dan kemudian ia
melahirkan seorang bayi perempuan. Menurut suaminya, anak perempuan tidak ada
gunanya dan tidak lebih baik dari anak laki-laki. Tapi 3 bulan kemudian, Gadis
Pantai “diceraikan”, dan dipulangkan dengan paksa, serta anaknya harus
ditinggal di rumah Bendoro. Dengan hati hancur Gadis Pantai meninggalkan
anaknya di rumah si Bendoro.Ia malu dengan keadaannya yang tak bersuami, tak
punya rumah, dan anaknya dirampas oleh Bapaknya sendiri, Gadis Pantai
memutuskan untuk tidak pulang ke kampung halamannya. Tapi ia berbelok ke
selatan, ke wilayah Blora. Selama sebulan setelah kepergiannya, ia selalu
mengawasi keadaan rumah si Bendoro. Namun setelahnya, ia tak kelihatan lagi.
2. Analisis novel Gadis Pantai dengan pendekatan objektif
a) Unsur intrinsik
Merupakan unsur dari dalam yang membangun
sebuah karya satra. Adapun unsur-unsur intrinsik sebuah karya sastra adalah
sebagai berikut:
a.
Tema
Tema merupakan sesuatu yang menjadi dasar
cerita atau ide dan tujuan utama cerita.Tema biasanya selalu berkaitan dengan penglaman-pengalaman
kehidupan sosial, cinta, ideologi, maut, religius dan sebagainya.Tema yang
disajikan dalam Roman ini adalah mengenai sosio-kritik dalam sistem masyarakat.
Bagaimana rakyat kecil yang diwakili oleh Gadis Pantai yang menjadi istri seorang
Priyayi, diperlakukan oleh Priyayi sebagai pemuas nafsunya, dijauhkan dari
dunia luar yang menurut Priyayi tersebut sebagai dunia yang kotor dan ia
dicampakan dan diusir oleh Priyayi tersebut dengan alasan dia tak sederajat
dengannya. Adapun kritik yang ditujukan pada sistem feodalisme adalah melalui
gambaran dalam cerita yang disebutkan bahwa semua yang ada di Gedung Besar
adalah rakyat jelata yang harus tunduk dan patuh pada Priyayi, dan mereka tidak
patut dihormati.
b.
Latar/Setting
Latar /setting dalam sebuah karya sastra dalah
keterangan mengenai waktu, ruang dan suasana terjadinya lakuan. Dalam roman
‘Gadis Pantai’ menghadirkan dua latar:Pertama adalah latar fisik, merupakan
latar pada lokasi tertentu atau waktu tertentu secara jelas. Latar fisik yang
ditampilkan dalam roman tersebut yang utama adalah sebuah Gedung Besar di kota
Rembang dengan penggambaran bentuk dan suasananya. Selain itu juga berada di
daerah pesisir pantai utara pulau Jawa tepatnya kampung nelayan di Rembang
dengan gambaran kondisi nelayan; Kedua adalah latar sosial,
merupakan latar pada hal-hal yang berhubungan pada perilaku sosial masyarakat
di suatu tempat yang diceritakan dalam karya sastra. Penceritaan latar sosial
hanya menggambarkan di mana yang tergambar, yaitu dengan kondisi masyarakat
kampung nelayan yang bodoh (tidak bisa baca tulis), hidup mereka hanya
bergantung pada laut.Berbeda dengan kehidupan golongan Priyayi yang sangat
berlebihan.
c.
Alur
Alur merupakan tahapan-tahapan peristiwa yang
dihadirkan oleh para pelaku dalam sebuah cerita, sehingga membentuk suatu
rangkaian cerita. Alur dapat kita perhatikan dari rangkaian-rangkaian peristiwa
yang dibangunnya.Dengan demikian untuk mengetahui bagaimana alur sebuah cerita
rekaan, kita perlu menyimak rangkaian peristiwa yang terdapat dalam karya yang
bersangkutan.
Jenis alur yang digunakan
dalam Roman ‘Gadis Pantai’ adalah alur maju, hal itu tertlihat dari rangkaian
kejadian dari gadis pantai yang hidup di Kampung nelayan, berubah menjadi
seorang Priyayi karena menikah dengan Priyayi pembesar kota Rembang. Dari situ kehidupan Gadis Pantai menjadi lebih
baik, sampai puncaknya ketika ia dapat menyesuaikan dengan kehidupan Bendoro.
Namun setelah ia melahirakan anak, ia diusir kembali dari gedung besar. Karena
sesuai dengan apa yang menjadi janji Bendoro, ia tidak akan menjadikan seorang
perempuan sebagai pendamping hidupnya kecuali dia sederajat denganya. Adapun
pengilasan balik cerita itu hanya sebagai pendukung jalan cerita atau narasi
dari roman tersebut.
Pramoedya menyajikan cerita dengan bagian awal
cerita sebagai pendeskripsian tokoh utama, yaitu Gadis Pantai yang bertubuh
kecil, kulit putih bersih yang hidup di Kampung. Di bagian tengahnya
menghadirkan konflik baik yang terjadi dalam diri Gadis Pantai atau pun konflik
dengan tokoh yang lain. Lalu akhir dari bagian cerita tersebut yaitu keadaan
yang memprihatinkan yang terjadi pada diri Gadis Pantai akibat dati ‘keganasan’
praktik Feodalisme.
d.
Penokohan
Sesuai KBBI penokohan dapat diartikan sebagai
pencitraan citra tokoh dalam sebuah karya sastra. Tokoh yang terdapat dalam
Roman Gadis Pantai terdapat tiga tokoh.Pertama yaitu tokoh utama
atau tokoh yang mendominasi cerita.Yang menjadi tokoh utama yaitu Gadis Pantai,
digambarkan sebagai tokoh yang menghormati, patuh kepada orang tua dan
suaminya.Ia juga selalu
ingin memberontak terhadap aturan yang ada di gedung rumah Priyayi.Kedua yaitu tokoh protagonis atau tokoh yang dikagumi sesuai dengan harapan
pembaca.Yang merupakan tokoh protagonis yaitu pembantu tua yang tinggal di
gedung besar, yang selalu memberikan penjelsan atau memberi bantuan
kepada tokoh utama.Selain itu juga ada emak dan bapaknya.Ketiga yaitu
tokoh antagonis atau tokoh yang tidak disenangi pembaca karena memiliki watak
yang tidak sesuai dengan harapan pembaca.Yang merupakan tokoh ini adalah
Bendoro yang arogan, sombong, dan kelakuanya merupakan bagian dari
sistem feodalisme.Selain bendoro juga Mardinah dan komplotannya yang berusaha
menghabisi tokoh utama.Penokohan yang
digambarkan Pram yaitu melalui deskripsi dan dialog antara tokoh yang satu
dengan yang lain.
e.
SudutPandang
Sudut pandang adalah cara dan pandangan yang
digunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan
berbagai peristiwa yang membentuk cerita. Dalam penceritaanya Pram menggunakan
sudut pandang orang ketiga (dia) maha tahu.Hal itu di tunjukan melalui
deskripsi.
f.
Amanat
Amanat merupakan pesan yang ingin disampaikan
oleh pengarang dari sebuah karya sastra.Dalam roman ini secara eksplisit
pengarang memberikan sebuah pesan mengenai kebudayaan Jawa hasil dari
peninggalan jajahan Belanda yang telah menyengsarakan rakyat pribumi dan mereka
membodohinya.
oh, oh, dewa sejagat kalah bengisnya
matilah dia berani tolak perintahnya
bupati mantra semua Priyayi apalagi
orang kecil yang ditakdirkan jadi kuli
dia sandang pedang tipis di pinggang kiri
tapi titahnya wah-wah lebih dahsyat lagi
laksana geledek sambar perahu dan tali-temali
sehela nafas sedepa jalan harus jadi
menggigil semua dengar namanya Guntur
semua pada takluk gunung kali dan rawa
pantai dan jalan berjajar panjang membujur
kepala kawula jadi titian orang yang kuasa ….
waktu jalan panjang sempurna jadi
kereta-kereta indah jalan tiap hari
bawa tuan-tuan nyonya-nyonya dan putra-putri
tuan besar gubernur jenderal dan para abdi (Gadis Pantai,
Hlm.170-171).
Selain itu juga bila melihat dari deskripsi puisi yang dilantunkan tokoh si Dul, menandakan ketidakberdayaan rakyat, yang badan dan jiwanya telah dikuasai oleh elit kekotaan Jawa wakil setempat raja-raja tradisional di Jawa Tengah, serta orang Belanda yaitu Gubernur Jenderal Daendels.
b) Unsur Ekstrinsik
Unsur Ekstrinsik merupakan unsur-unsur yang
berada di luar karya sastra, akan tetapi secara tidak langsung mempengaruhi
bangunan atau sistem organisme karya sastra. Unsur ekstrinsik berupa:
a.
Kehidupan
Pengarang
Kehidupan pengarang merupakan suatu yang
mempengaruhi jenis kepengarangan para sastrawan. Di mana ia bekerja, bersekolah
ataupun pergaulannya. Pramoedya Ananta Toer merupakan Sastrawan yang lahir di
Blora, pada tahun 1925.Menurut sejarah Ayah Pram menikah dengan Ibunya pada
saat berumur 15 tahun.Saat Pram ada konflik dengan ayahnya ibunya-lah yang paling
menyayanginya dan dialah yang
memperjuangkan kehidupan keluarganya walaupun dalam keadaan sakit. Maka tak
heran apabila ia sangat sayang pada ibunya.
Dalam kepengaranganya Pram banyak menceritakan
tentang wanita yang hampir menjadi manusia teladan, yang berani dan tabah, yang
tetap memperjuangkan kemanusiaanan keadilan. Dalam Roman Gadis Pantai, Pram
terinspirasi oleh seorang wanita yang tak lain adalah neneknya dari ibu, ia
bernama Satimah. Satimah adalah wanita yang dijadikan selir oleh kakeknya,
Penghulu Rembang.Tetapi setelah melahirkan anaknya (Ibu Pram), Satimah
dienyahkan dari gedung tuannya.Satimah adalah wanita yang periang, tabah, tak
kenal putus asa, rajin, dan seorang pekerja sejati.Ia dari keluarga miskin,
meskipun miskin dia tetap menyayangi cucu-cucunya dengan selalu memberikan
hadiah kecil. Meskipun Pram tidak tahu banyak tentang neneknya namun dari situ,
nenek Satimah merupakan prototype Gadis Pantai.
b.
Keadaan
Masyarakat
Pram merupakan gambaran dari masyarakat Jawa
kebanyakan yang tertindas oleh Kolonial Belanda. Namun ia tidak seperti orang Jawa kebanyakan yang menyerah dengan keadaan.
Pram memiliki kesadaran nasional yang kuat, ketabahanya dalam melawan segala
apa yang dianggap tidak adil, pengalamanya tentang masalah-masalah sosial dalam
masyarakat jawa pengertianya tentang pendidikan sebagai sarana untuk membangun
bangsa dan manusia yang bebas dan merdeka. Ia hidup di mana pada saat itu
penjajah belada tengah berkuasa di nusantara ini terutama di daerah jawa
tengah. Pada saat itu
pula praktik-praktik kolonialisme belanda, salah satunya feodalisme.Melalui
karyanya Roman ‘Gadis Pantai’ Pram berusaha untuk ‘menusuk’ praktik feodalisme
Jawa yang tidak mengenal adab dan jiwa kemanusiaan.
c.
Relasi Gender
Dalam Roman ini setidaknya ada empat tokoh
perempuan yang ada di dalamnya, yaitu Gadis Pantai, Emak, Bujang wanita,
Mardinah dan Mas Ayu (Bendoro wanita yang akan dinikahi Bendoro). Gadis Pantai
adalah gadis belia yang sangat lugu, tentu saja karena ia baru berusia 14 tahun
kala itu, sebelum ia dinikahi Bendoro. Ia berasal dari kalangan rakyat bawah,
penduduk kampung nelayan yang miskin, ia pun buta akan ilmu pengetahuan dan
tata karma. Sedangkan Bendoro adalah Priyayi yang terhormat yang memiliki
pengetahuan agama yang luas.Kontras sekali dengan Mardinah.Seorang tokoh
antagonis di dalam roman ini.Ia tiba-tiba dihadirkan oleh narator sebagai
seorang janda, yang pernah menjadi Mas Nganten.Ia lahir di kota Semarang, ia
sangat muda dan karena ia mampu membaca ia jauh lebih cerdas dari pada Gadis
Pantai. Mardinah pun tahu benar bagaimana seharusnya menjadi Mas Ngaten yang
baik dan benar.Karena merasa lebih pintar, dan lebih terhormat, Mardinah begitu
meremehkan Gadis Pantai. Karena ia menganggap ia lebih berderajat karena ia lahir
di kota sedangkan Gadis Pantai lahir di perkampungan nelayan yang miskin;
Mardinah mampu membaca dan menulis, sedangkan Gadis Pantai hanya mampu membaca
Al Quran saja. Ambisinya yang ingin membinasakan Gadis Pantai adalah hanya
semata-mata karena ia dijanjikan untuk dijadikan istri kelima bagi Bendoro
Demak jika ia berhasil menyingkirkan Gadis Pantai dan menikahkan putri Bendoro
Demak dengan Bendoro (Priyayi yang menikahi Gadis Pantai).
Emak adalah ibu dari Gadis Pantai yang
mengharapkan anaknya mendapat penghidupan dan derajat yang lebih baik. Bujang
perempuan adalah pelayan Gadis Pantai ketika ia masih mengawali kehidupannya
sebagai Mas Nganten. Sedangkan Mas Ayu adalah seorang perempuan berderajat yang
akan dinikahi oleh Bendoro. Hal yang sangat mencolok dalam novel ini adalah
terpisahnya ibu dan anak secara paksa, dan diceraikannya seorang Mas Nganten
setelah ia melahirkan anak bagi Bendoro. Dalam masyarakat feodal nampak sekali
perbedaan antara anak perempuan dan laki-laki.Berapa besarnya keinginan rakyat
feodal untuk mendapatkan anak laki-laki.Hal ini dikarenakan mereka mengharapkan
adanya penerus bagi mereka.Dalam masyarakat ini anak perempuan hanya dianggap
sebagai pengganggu saja dan tidak dapat dibanggakan.Perempuan dianggap sebagai
tempat pelepasan birahi dan melahirkan anak saja.Apa lagi jika perempuan itu
berasal dari rakyat rendahan. Selain itu pula, bagi seorang perempuan yang
menjadi Mas Nganten akan diceraikan begitu saja oleh Bendoro setelah ia
memberikan seorang anak kepada Bendoronya.
Seperti halnya apa yang dialami Gadis Pantai
dalam roman ini. Setelah masuk tahun ketiga dari pernikahannya, dan setelah ia
melahirkan seorang anak yang ternyata perempuan. Betapa murkanya Sang Bendoro
dan selang beberapa bulan setelah melahirkan, Gadis Pantai pun diceraikannya.
Seperti kutipan berikut.
“Jadi sudah lahir dia. Aku dengar perempuan
bayimu, benar?” “Sahaya, Bendoro.” “Jadicuma perempuan?”“Seribu ampun,
Bendoro.”Bendoro membalikkan badan, keluar kamar sambil menutup pintu kembali.
Gadis Pantai memiringkan badan, di peluknya bayinya dan diciuminya rambutnya…” (Gadis Pantai, Hlm. 253).
Gadis Pantai, seorang gadis dari kalangan
rakyat rendahan, ia belum mengenal cinta dan dicintai, dan ia pun belum banyak
tahu tentang kehidupan dan bahkan pengetahuan tentang etika dan tata krama
rakyat feodal. Dalam usia yang sangat belia ia menjadi Mas Nganten. Kebahagiaan
baginya adalah masa-masa ketika ia masih hidup di pesisir pantai, di kampung
nelayan yang kumuh dan miskin, bersama kedua orang tua dan saudara-saudaranya;
bermain, bercengkrama dan tertawa lepas bersama teman-temannya di antara
bulir-bulir pasir hangat yang menjadi alas kakinya dan deburan ombak sebagai
dendangan yang selalu mengiringi langkahnya. Semua terenggut ketika ia menjadi
istri seorang Bendoro, yang walaupun dalam kehidupan Priyayi ia mendapatkan
cukup makan, pakaian yang bagus dan perhiasan yang indah, namun sesingkat waktu
ia dicampakkan begitu saja, anaknya terenggut paksa dari pelukkannya. Ia pun
kembali menapaki hidupnya semula, sebagai Gadis Pantai dari golongan bawah.
C. Sisi Menarik dalam Novel Gadis
Pantai
1. Perihal Mistik Kejawen
Suatu
upaya sepiritual pendekatan diri kepada Tuhan yang dilakukan sebagian
masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa yang mayoritas beragama Islam hingga sekarang
belum bias meninggalkan tradisi dan budaya Jawanya. Di antara tradisi dan
budaya ini terkadang bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Tradisi dan
budaya Jawa ini sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Jawa, terutama yang
abangan. Di antara tradisi dan budaya ini adalah keyakinan akan adanya roh-roh
atau benda-benda pusaka leluhur yang memiliki kekuatan ghaib, melakukan
upacara-upacara ritual yang bertujuan untuk persembahan kepada tuhan atau meminta
berkah serta terkabulnya permintaan tertentu.
Setelah
dikaji inti dari tradisi dan budaya tersebut, terutama dilihat dari tujuan dan
tatacara melakukan ritus-nya, jelaslah bahwa semua itu tidak sesuai dengan
ajaran Islam. Begitu juga bentuk-bentuk ritual yang mereka lakukan jelas
bertentangan dengan ajaran ibadah dalam Islam yang sudah ditetapkan dengan
tegas dalam al-Quran dan hadis Nabi Saw. Karena itulah, tradisi dan budaya Jawa
seperti itu sebenarnya tidak sesuai dengan ajaran Islam dan perlu diluruskan
atau sekalian ditinggalkan.
Menurut
Simuh (1996 : 110), masyarakat Jawa memiliki budaya yang khas terkait dengan
kehidupan beragamanya. Menurutnya ada tiga karakteristik kebudayaan Jawa yang
terkait dengan hal ini, yaitu:
a. Kebudayaan Jawa
pra Hindhu-Buddha Kebudayaan masyarakat Indonesia, khususnya Jawa, sebelum
datangnya pengaruh agama Hindhu-Buddha sangat sedikit yang dapat dikenal secara
pasti. Sebagai masyarakat yang masih
sederhana, wajar bila nampak bahwa sistem animisme dan dinamisme merupakan inti
kebudayaan yang mewarnai seluruh aktivitas kehidupan masyarakatnya. Agama asli
yang sering disebut orang Barat sebagai religion magis ini merupakan nilai
budaya yang paling mengakar dalam masyarakat Indonesia, khususnya Jawa.
b. Kebudayaan Jawa
masa Hindhu-Buddha Kebudayaan Jawa yang menerima pengaruh dan menyerap
unsur-unsur Hindhu-Buddha, prosesnya bukan hanya sekedar akulturasi saja, akan
tetapi yang terjadi adalah kebangkitan kebudayaan Jawa dengan memanfaatkan
unsur-unsur agama dan kebudayaan India. Ciri
yang paling menonjol dalam kebudayaan Jawa adalah sangat bersifat teokratis.
Masuknya pengaruh Hindhu-Buddha lebih mempersubur kepercayaan animisme dan
dinamisme (serba magis) yang sudah lama mengakar dengan cerita mengenai
orang-orang sakti setengah dewa dan jasa mantra-mantra (berupa rumusan
kata-kata) yang dipandang magis.
c. Kebudayaan Jawa
masa kerajaan Islam Kebudayaan ini dimulai dengan berakhirnya kerajaan
Jawa-Hindhu menjadi Jawa- Islam di Demak. Kebudayaan
ini tidak lepas dari pengaruh dan peran para ulama sufi yang mendapat gerlar
para wali tanah Jawa. Perkembangan Islam di Jawa tidak semudah yang ada di luar
Jawa yang hanya berhadapan dengan budaya lokal yang masih bersahaja
(animisme-dinamisme) dan tidak begitu banyak diresapi oleh unsur-unsur ajaran
Hindhu-Buddha seperti di Jawa. Kebudayaan inilah yang kemudian melahirkan dua
varian masyarakat Islam Jawa, yaitu santri dan abangan, yang dibedakan dengan
taraf kesadaran keislaman mereka. [2]
2. Masalah Patriaki dalam Jawa
Pemahaman patriaki akan ‘pengkotak-kotakan’ peran
laki-laki dan perempuan saat ini masih mendarah daging terutama bagi masyarakat
menengah ke bawah yang kurang memberikan pemahaman akan kesetaraan antara hak
perempuan dan laki-laki. Budaya patriarki hanya mempersulit
dan merugikan posisi perempuan dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu bisa
dilihat dengan masih banyaknya orang tua yang memiliki anggapan bahwa perempuan
hanya sebagai konco wingking atau bisa diperjelas dengan
“setinggi-tingginya taraf pendidikan, seorang perempuan hanya akan berada di
dapur”. Bahkan tak jarang kita melihat teman-teman di sekitar kita yang
langsung dijodohkan setelah lulus SMA, atau bahkan masih SMP. sungguh mengelus
dada ketika budaya semacam itu masih tumbuh liar di mana-mana.
Perempuan tidak dapat tampil dalam ruang-ruang publik,
mereka tidak boleh keluar rumah untuk mendermakan kemampuan dan keahlian yang
tersimpan bagi kemaslahatan masyarakat, bahkan mereka dicegah untuk mendapatkan
hak-hak memperoleh pendidikan yang layak. Hal mengenaskan justru perlakuan
diskriminatif ini lahir karena keyakinan mereka demi menjaga kesucian
perempuan, menjauhkannya dari fitnah, mencegahnya dari perlakuan tidak senonoh
dari lelaki bejat dan lain-lain. Maka
tidak ada cara lain, yang ada dalam cara pikir masyarakat awam (baca; primitif)
kecuali mengurung perempuan untuk tidak keluar dari rumahnya, dengan dalih
menjaga kesucian tersebut.
Hal itu pula yang tergambar jelas dalam novel Gadis
Pantai, bisa disimpulkan meskipun secara tersirat bahwasanya sang Bendoro
hanya memperlakukan isterinya dengan perlakukan sebagaimana mestinya, ketika
sang isteri memberikan keturunan laki-laki kepadanya. Namun, bila tidak nasib sang isteri akan ditelantarkan dan
anak keturunannya akan dirampas. Tampak dalam kutipan berikut :
“kemarin malam ia telah dinikahkan.
Dinikahkan dengan sebilah keris. Detik itu ia tahu : kini ia bukan anak
bapaknya lagi. Ia bukan anak emanya lagi. Kini ia istri sebilah keris, wakil
seseorang yang tak pernah dilihatnya seumur hidup.” (Gadis Pantai, Hlm. 12).
Tampak sekali budaya patriaki di
Jawa ketika itu sangat kental, dan benar-benar semua harapan yang disandang
kaum perempuan yang notabene sebagai ibu yang melahirkan.
3. Teori Sosial Politik diawali dengan pembahasan mengenai Feodalisme.
Dalam buku Filsafat Sejarah yang ditulis oleh Georg
Wilhelm Friedrich Hegel, ia menjelaskan bahwa feodalisme mulai berkembang pada
zaman pertengahan dimana terdapat reaksi bahwa para individu melawan otoritas
yang sah dan kekuasaan eksekutif dari kedaulatan universal kerajaan Frank. Universalitas kekuasaan negara lenyap lewat reaksi ini :
individu mencari perlindungan dengan kekuatan dan akhirnya menjadi penindas.
Jadi secara berangsur-angsur melahirkan kondisi ketergantungan universal, dan
hubungan perlindungan ini akhirnya disistematisasikan menjadi sistem feodal.
Feodalisme itu sendiri adalah pendelegasian kekuasaan sosial politik yang
dijalankan kalangan bangsawan atau monarkhi untuk mengendalikan berbagai
wilayah yang dimilikinya melalui kerja sama dengan pemimpin-pemimpin lokal
sebagai mitra, dalam pengertian lain, struktur ini diberikan oleh sejarawan
pada sistem politik Eropa pada abad pertengahan yang menempatkan ksatria dan
kelas bangsawan lainnya sebagai penguasa kawasan atau hak tertentu yang
ditunjuk oleh monarkhi. Monarkhi merupakan suatu bentuk pemerintahan yang
dipimpin oleh seorang raja yang mempunyai kekuasaan yang absolut atau mutlak
atas rakyatnya [3]
Terkait
dengan novel Gadis Pantai yang rupawan berhasil menarik hati seorang pembesar
di kota. Keluarganya pun membawa gadis lugu itu ke rumah sang Bendoro. Gadis
Pantai, yang menstruasi pun belum, dinikahkan dengan Bendoro.
Untuk apa seorang ningrat, di zaman feodal seperti itu, memperistri orang rendahan dari Kampung Nelayan.
Untuk apa seorang ningrat, di zaman feodal seperti itu, memperistri orang rendahan dari Kampung Nelayan.
Jawabannya hanya satu.Gadis Pantai ada di rumah mewah itu
hanya sebagai pemuas nafsu Bendoronya sampai lelaki itumendapatkanwanita, yang
juga ningrat, sebagai pendamping. Jahat?
Tentu saja, tetapi bukan berarti tak nyata. Aku percaya sepenuh hati bahwa dulu
feodalisme Jawa memang sekejam itu. Sangat ketat akan aturan dan unggah-ungguh.
Tata krama Jawa tidak ada yang bisa mengalahkan. Apalagi di Keraton. Jangan
ditanya. Kalau perlu para abdinya disuruh menjilati telapak kaki sang raja.
Kehidupan
Gadis Pantai di rumah mewah Bendoro bagai neraka. Ia pelan-pelan belajar banyak
hal. Membatik, menulis, menjahit, dan pekerjaan wanita lainnya. Namun, tetap
saja, orang rendahan tetap orang rendahan. Gadis Pantai, walau sudah menjadi
Mas Nganten, tetap saja menerima hinaan dan cacian. Baik dari anak-anak Bendoro
sendiri, atau dari orang lain. Ia bahkan hampir dibunuh oleh orang suruhan
kerabat Bendoro yang menginginkan Bendoro menikah dengan wanita yang satu
kasta.
Pada
akhirnya, hidup memang tidak pernah memihak pada Gadis Pantai. Ia mengandung
lalu melahirkan anak perempuan. Seperti Mas Nganten lainnya sebelum dia, Gadis
Pantai lalu diceraikan Bendoro dan harus pulang tanpa membawa anak yang sudah
dilahirkannya. Namun, itulah yang terjadi, setelah seorang Mas Nganten
melahirkan satu anak, ia harus pergi.
Gadis
Pantai pun tak kuasa melawan aturan dan segala feodalisme itu seorang diri. Ia
menyerah dan meninggalkan anaknya di rumah sang Bendoro. Dengan harapan bahwa
sang anak tidak perlu menjadi orang rendahan yang mati susah hidup pun segan.
Ia akan menjadi anak Bendoro, tinggal di rumah bagus dan diakui derajatnya.
Setidaknya itu pikiran Gadis Pantai. Namun, ia pun tak mampu untuk kembali ke
kampungnya. Ia memilih pergi ke Blora dan memulai hidup baru seorang diri.
D. Relevansi Fenomena Feodalisme Jawa Dengan
Konteks Ke Kinian
a. Fenomena Feodalisme Jawa
Dalam novelnya ini, Pramoedya mengusung
perlawanan terhadap feodalisme Jawa. Hal ini dinyatakan dalam bentuk kehidupan
si Gadis Pantai yang berasal dari kelas remdah dan kemudian dinikahi oleh pembesar.
Penyadaran-penyadaran akan nasib kaum teralienasi itu disampaikan Pramoedya
dalam bentuk narasi-narasi yang menceritakan ketertekanan gadis pantai
menjalani hidupnya di bawah bayang-bayang suaminya yang berasal dari kelas
lebih tinggi dari dirinya.
Pramoedya seolah menegaskan bahwa
feodalisme Jawa selayaknya dihapuskan karena menciptakan kesenjangan sosial dan
memperburuk kehidupan masyarakat. Dalam sebuah dialog dinyatakan, “Ya, orang
kebanyakan seperti sahaya inilah, bekerja berat tapi makan pun hampir tidak.” (Gadis
Pantai, Hlm. 54).
Kesenjangan sosial tersebut berdampak
buruk pada psikologi tokoh dan status sosialnya di masyarakat, seperti dalam
cuplikan dialog: Bapak? mengapa bapak segan menatap aku? anaknya
sendiri. dan bumi di bawah kakinya terasa goyah. Kampung nelayan ini telah
kehilangan perlindungan yang meyakinkan baginya. Sedang di belakang terus
mengikuti mata-mata Bendoro yang tak dapat dikebaskan dari bayang-bayangnya. Ia
masih kenal benar siapa-siapa yang menjemputnya—tetangga-tetangganya. Ada yang
dulu menjewernya. Ada yang mendongenginya. Ada yang pernah mengangkat dan
menggendongnya sewaktu habis jatuh dari pohon jambu. ada yang sering dibantunya
menunggu dapur. Dan ada bocah-bocah kecil yang digendongnya dulu. Antara
sebentar ia dengar kata Bendoro Putri! Bendoro! Bendoro! Bendoro Putri! kata
itu mendengung memburu. Mengiris dan meremas di dalam otaknya. Bendoro! Bendoro
Putri! Bendoro! Bendoro Putri! Dan berpasang-pasang mata yang menunduk hormat
bila tertatap olehnya seakan menyindirnya: semu, semu, semua semu! (Gadis
Pantai, Hlm. 165).
Sesuai dengan tujuan aliran realisme
sosialis, novel ini memperjuangkan kelas proletar—yang diwakili oleh tokoh
gadis pantai, agar tidak terdapat lagi masyarakat berkelas-kelas. Novel ini di
samping mencerminkan kenyatan sosial pada masa itu di Jawa juga menyuarakan
perlawanan terhadap kelas tinggi dalam masyarakat Jawa dalam novel ini diwakili
oleh tokoh Bendoro.
b. Sikapan
Feodalisme Dalam Kebudayaan
Dari novel Gadis Pantai, didapatkan
unsur sosial budaya yang melatarbelakangi penciptaannya, yaitu tentang sistem
sosial dalam budaya masyarakat Jawa pada masa novel ini ditulis. Masyarakat
Jawa terbagi menjadi tiga tipe yang mencerminkan organisasi moral kebudayaan,
yaitu kebudayaan abangan, santri, dan priyayi. Kaum abangan adalah penganut
kejawen yang sangat percaya akan adanya makhluk halus yang mempengaruhi
kehidupan manusia, seperti dalam praktek-praktek pengobatan, santet, magi
dan magis.
Yang kedua yaitu Santri, suatu golongan
yang menjalankan kaidah-kaidah agama Islam secara murni. Golongan ini biasanya
terisi dari kalangan pedagang dan sebagian kecil petani. Sedangkan golongan priyayi adalah mereka yang
kebangsawanannya dimiliki secara turun-temurun. Mereka tidak menekankan diri
pada elemen animistik milik para abangan, elemen keIslaman yang biasa dilakukan
oleh para santri. Namun mereka lebih menitikberatkan kepada elemen-elemen
Hinduisme yang secara luas dihubungkan dengan unsur-unsur birokratis.
Priyayi memiliki kedudukan yang lebih
tinggi dibandingkan orang kebanyakan, mereka hidup berkecukupan, seperti
terlihat dari cuplikan dialog: “Ya, orang kebanyakan seperti sahaya
inilah, bekerja berat tapi makan pun hampir tidak.” (Gadis Pantai,
Hlm. 54), dan : ”Bagi orang sudah tua seperti sahaya ini, siapa yang
beri makan di sana? semua pada hidup susah.” (Gadis Pantai, Hlm. 55).
Kemudian pada cuplikan dialog: ”Tambah mulia seseorang, Mas Nganten, tambah
tak perlu ia kerja. Hanya orang kebanyakan yang kerja.”(Gadis Pantai, Hlm.
68). Serta cuplikan dialog :
”Kalau ada
nasib, Bapak suka jadi priyayi?”
”Itulah yang
dicitakan setiap orang.”
”Kalau Bapak
tahu bagaimana mereka hidup di sana...”
”Setidak-tidaknya
mereka tak mengadu untung setiap hari. Setidak-tidaknya
mereka tidak
berlumuran kotor setiap hari.” (Gadis Pantai, hal 181).
Dan tugas bagi orang yang kedudukannya
lebih rendah adalah mengabdi kapada para priyayi tersebut, seperti dalam
cuplikan dialog:
”Apa salahku?”
”Salah Mas
Nganten seperti sahaya, salah kita, berasal dari orang
kebanyakan.”
”Lantas Mbok,
lantas?”
”Kita sudah
ditakdirkan oleh orang yang kita puji dan yang kita sembah buat
jadi pasangan
orang rendahan. Kalau tidak ada orang-orang rendahan, tentu
tidak ada orang
atasan.”
”Aku ini, Mbok,
aku ini orang apa? rendahan? atasan?”
”Rendahan Mas
Nganten, maafkan sahaya, tapi menumpang di tempat atasan.”
”Jadi apa yang
mesti aku perbuat?”
”Ah, beberapa
kali sudah sahaya katakan. Mengabdi, Mas Nganten. Sujud,
takluk sampai
tanah pada Bendoro...” (Gadis Pantai, Hlm. 99).
Para priyayi menganggap, orang dengan
kelas lebih rendah dari dirinya adalah miliknya sepenuhnya. Oleh karena itu, ia
berhak mengatur kehidupan mereka. Seperti dalam cuplikan dialog: ”Kau
milikku. Aku yang menentukan apa yang kau boleh dan tidak boleh, harus dan
mesti kau kerjakan. Diamlah kau sekarang. Malam semakin larut.” (Gadis
Pantai, Hlm. 136).
Oleh karena itu, priyayi harus
dihormati dan diperlakukan seolah-olah raja oleh para kelas yang lebih
rendah, hal ini tercermin dalam cuplikan dialog: ”Pada aku ini, Mas
Nganten tak boleh sebut diri sahaya. Itu kata hina bagi penyebut di hadapan dan
untuk Mas Nganten.” (Gadis Pantai, hal. 27). Dan pada cuplikan
dialog ”Tidak mungkin orang kampung memerintah anak priyayi. Tidak
bisa. Tidak mungkin.” (Gadis Pantai, Hlm. 127).
Jika seorang priyayi menikah dengan
gadis dari tingkat kelas yang lebih rendah, maka gadis itu belum dianggap
sebagai istri sahnya. Priyayi itu masih dianggap perjaka jika belum menikah
dengan wanita dari kalangan yang sederajat dengannya. Seperti terlihat dari
cuplikan dialog :
”Jadi Mas Nganten tahu siapa sahaya.
Seseorang yang kebangsawanannya lebih tinggi dari Bendoro telah perintahkan
sahaya kemari. Sudah waktunya Bendoro kawin benar-benar dengan seorang gadis
yang benar-benar bangsawan juga. Di Demak sudah menunggu. Siapa saja boleh
Bendoro ambil, sekalipun sampai empat.” (Gadis Pantai, Hlm. 132).
Lalu :
”Perjaka? jadi
aku ini apanya?”
”Apa mesti
sahaya katakan? Bendoro masih perjaka sebelum beristrikan
wanita
berbangsa.” (Gadis Pantai, Hlm. 155).
Pada cerita Gadis Pantai ini ditulis
dengan teknik naratif ”orang ketiga mahatahu”. Karena dalam novel tersebut
narator berada diluar cerit, tetapi mengetahui hampir semua hal makan pikiran,
perasaan, perbuatan tokoh-tokoh dalam crita serta lingkungan yang ada
disekitarnya. Karena ia tidak terikat pada satu tokoh maka ia dapat bergerak
bebas masuk pada diri tokoh-tokoh yang lain, juga permasalahan yang ada.
Narator membuka tabir antara Bendoro
dan rakyat dari kampung nelayan yang miskin. Ia memberikan sebuah kritikan
terhadap kesenjangan yang terjadi diantara mereka. Kriktikan terhadap anggapan
bahwa bangsa priyayi adalah orang-orang suci yang dekat dengan Tuhan, dengan
agama, dan orang miskin adalah orang-orang hina yang dikutuk-Nya. Narator juga
menggambarkan perbedaan dalam strata sosial, terutama dalam perihal pangan dan
makan. Orang seperti Bendoro makan dengan gaya Eropa, baik makanannya maupun
tata cara makannya. Mereka mengikuti orang barat, karena mereka beranggapan
orang barat itu manusia yang berderajat tinggi.
“Tak perlulah kalau kau tak suka.Aku
tahu kampung-kampung sepanjang pantai sini.Sama saja, sepuluh tahun yang lalu
aku juga pernah datang ke kampungmu.Kotor, miskin, orangnya tak pernah
beribadah.Kotor itu tercela, tidak dibenarkan oleh orang yang tahu agama.dimana
banyak terapat kotoran, orang-orang di situ kena murka Tuhan, rejeki mereka
tidak lancer, mereka miskin. (Gadis Pantai, Hlm. 41).
Novel ini nantinya akan menceritakan kehidupan Gadis Pantai ketika ia
menjadi Mas Nganten dan hingga akhirnya dicampakkan begitu saja oleh Bendoro
setelah ia melahirkan seorang bayi perempuan, kerangka sikap narator diatas
sekaligus kerangka sikapnya terhadap feodalisme Jawa yang tergambar pada sosok
Bendoro. Sangat jelas sekali, narator berpihak kepada Gadis Pantai sebagai
rakyat kecil yang merangkak diantara feodalisme Jawa.Kepasrahan rakyat bawah
dalam menerima nasibnya sebagai kutukan Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar