Rabu, 16 Desember 2015

Analisis Roman Gadis Pantai



Analisis Roman Gadis Pantai - Pramoedya Ananta Toer 
oleh Bahari Adji



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Masuknya Penjajah Belanda ke Nusantara ini, telah membawa sistem sosial masyarakat yang sangat melekat pada masyarakat Indonesia. Salah satunya sistem sosial feodalisme, yang merupakan sistem sosial politik yang memberikan kekuasaan yang besar kepada golongan masyarakat Bangsawan.Sistem feodaliasme berkembang di seluruh Nusantara terutama di daerah Jawa Tengah.Dengan kesewenang-wenangan yang disebabkan sistem ini, telah membuat jurang pemisah antara rakyat biasa dengan Golongan Bangsawan atau Priyayi.
Pramoedya Ananta Toer sengaja menghadirkan sebuah Roman Trilogi ‘Gadis Pantai’ untuk mengungkapakan betapa kejamnya sistem feodalisme Jawa pada saat itu yang mengantarkan pada kesengsraan rakyat. Dalam roman tersebut Pram menghadirkan sosok gadis anak seorang nelayan yang mewakili rakyat biasa, mendapatkan perlakuan semena-mena dari seorang Bendoro mewakili golongan Bangsawan yang tidak lain adalah suaminya. Meskipun perlakuan semena-mena itu bukan berupa perlakuan fisik namun lebih ke arah psikis, yaitu di mana dia tidak dihormati sebagai seorang istri, dikekang dan diusir dari kediamannya setelah ia melahirkan anak perempuan hasil dari hubungan dengan Bendoro.Roman tersebut terdiri dari tiga jilid, namun jilid kedua dan ketiga musnah akibat ‘keganasan’ penguasa pada masa lalu.Akan tetapi dari jilid pertama sudah memberikan gambaran mengenai ‘kekesalan’ Pram terhadap sistem feodalisme.Hal ini merupakan perjuangan kepengarangan Pram yang merupakan bagian dari LEKRA yang mengusung perlawanan feodalisme dan mengangkat ideologi realisme sosialis.
B.       Rumusan Masalah
1.         Bagaimana latar belakang keperangan Pramoedya Ananta Toer?
2.         Bagaimanasinopsis dan analisis novel Gadis Pantaimelalui pendekatan objektif ?
3.         Bagaimana sisi menarik dalam novel Gadis Pantai?
4.         Bagaimana relevansi fenomena feodalisme jawa dengan konteks ke kinian ?
C.      Tujuan penulisan
1.         Mengatahui latar belakang keperangan Pramoedya Ananta Toer
2.         Mengetahuisinopsis esai dan analisis novel Gadis Pantai melalui pendekatan objektif.
3.         Mengetahui sisi menarik dalam novel Gadis Pantai.
4.         Mengetahui relevansi feodalisme jawa dengan konteks ke kinian.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Latar Belakang Keperangan Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta Toer lahir pada 1925 di Blora, Jawa Tengah, Indonesia. Hampir separuh hidupnya dihabiskan dalam penjara-sebuah wajah semesta yang paling purba bagi manusia-manusia bermartaba t: 3 tahun dalam penjara kolonial, 1 tahun dalam penjara Orde Lama, dan 14 tahun yang melelahkan di Orde Baru (13 Oktober 1965-Juli 1969, pulau Nusakambangan Juli 1969-16 aguatus 1969, pulau Buru Agustus 1969-12 November 1979, Magelang/Banyumanik November-Desember 1979) tanpa proses pengadilan.
Pada tanggal 21 Desember 1979, Pramoedya Ananta Toer mendapat surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat dalam G 30 S PKI tetapi masih dikenakan tahanan rumah, tahanan kota, tahanan negara, sampai 1999 dan wajib lapor ke Kodim Jakarta Timur satu kali seminggu selama kurang lebih satu tahun. Beberapa karyanya lahir dari tempat purba ini, di antaranya Tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca).
Penjara tak membuatnya berhenti sejengkal pun dari menulis. baginya, menulis adalah tugas pribadi dan nasional. Dan ia konsekuen terhadap semua akibat yang ia peroleh. Berkali-kali karyanya dibakar.
Dari tangannya yang dingin telah lahir lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 42 bahasa asing. Karena kiprahnya di sastra dan kebudayaan, Pramoedya Ananta Toer dianugerahi pelbagai penghargaan internasional. Sampai kini, ia adalah satu-satunya wakil Indonesia yang namanya berkali-kali masuk dalam daftar Kandidat Pemenang Nobel Sastra.[1]
B.     Sinopsis dan Analisis Novel Gadis Pantai melalui pendekatan Objektif
1.      Sinopsis Novel Gadis Pantai
Roman ‘Gadis Pantai’ menceritakan tentang seorang Gadis Pantai (namanya memang demikian, alias tidak memiliki nama) sebagai tokoh utama. Ia adalah gadis belia dari pesisir pantai utara Jawa Tengah, di sebuah kampung nelayan yang miskin, berlokasi di Rembang. Tak seperti perempuan pesisir pada umumnya yang berkulit hitam, Gadis Pantai ini berkulit putih bersih dengan mata sipit. Kecantikanya memikat hati seorang pembesar santri setempat yang tinggal di kota, yaitu seorang yang bekerja pada administrasi Belanda. Pembesar yang disebut ‘Bendoro’ itu tinggal di sebuah Gedung Besar di kota Rembang. Gadis Pantai yang baru berusia 14 tahun itu, dipaksa oleh Emak dan Bapaknya untuk menikah dengan Bendoro dengan harapan ia akan bahagia sekaligus mengangkat derajat Emak dan Bapaknya jika bersedia diboyong ke Keresidena atau Gedung Besar tempat tinggal Bendoro.
Pernikahan antara Gadis Pantai dengan Bendoro hanya diwakili oleh sebilah keris. Hal ini dikarenakan Gadis Pantai hanya dijadikan istri sementaranya, teman seranjang, dan bukan sebagai teman hidupnya.Pernikahan yang sesungguhnya bagi Bendoro adalah pernikahan dengan wanita priyayi yang sederajat dengan dia.
Setelah Gadis Pantai menikah dengan Bendoro, kemudian ia dibawa ke Gedung Besar tempat tinggal Bendoro. Mula-mula Ia merasa seperti dalam “penjara”, ia hanya bisa berkomunikasi dengan seorang pelayan tua atau biasa disebut “sahaya”, tidak boleh bertemu dengan orang lain. Berbeda seperti ketika di kampungnya yang bebas bermain sepuasnya. Namun lambat laun, melalui cerita-cerita dan nasihat-nasihat dari pelayan tuanya itu, Gadis Pantai luluh dan mengerti apa yang harus dilakukan yaitu mengabdi dan taat kepada Bendoro yang tak lain adalah Suaminya.
Gadis Pantai juga mulai mengisi hari-harinya dengan kegiatan yang berguna, sepertimanyulam, membatik dan belajar mengaji yang tentunya semuanya diajarkan oleh gurunya. Ditahun kedua pernikahanya dengan Bendoro, ia mulai lebih mengakrabkan diri dengan Bendoro. Apabila ditinggal pergi Bendoro, ia merasa kesepian dan menjadi pencemburu, karena ia telah memahami kedudukanya sebagai ‘Wanita Utama’ walaupun hanya sementara. Ditahun kedua itu juga pelayan tuanya diusir oleh Bendoro dari Gedung Besar, karena suatu masalah yang tidak begitu besar.Hal ini membuat Gadis Pantai merasa kesepian dan merasa tak ada lagi pembimbing bagi dirinya ketika ada suatu masalah.
Tentu saja ada yang tak suka dengan keberadaan Gadis Pantai di rumah Bendoro, terutama dari keluarga besar si Bendoro sendiri.Mereka mengharapkan Bendoro secepatnya mengambil istri yang sederajat. Seorang Bendoro Demak yang menginginkan putrinya kawin dengan si Bendoro akhirnya mengutus Mardinah untuk menghabisi Gadis Pantai, dengan imbalan Mardinah akan diangkat menjadi istri kelima. Rencana dilaksanakan ketika Gadis Pantai pulang ke rumahnya di pinggir pantai, namun gagal.
Gadis Pantai kemudian hamil dan kemudian ia melahirkan seorang bayi perempuan. Menurut suaminya, anak perempuan tidak ada gunanya dan tidak lebih baik dari anak laki-laki. Tapi 3 bulan kemudian, Gadis Pantai “diceraikan”, dan dipulangkan dengan paksa, serta anaknya harus ditinggal di rumah Bendoro. Dengan hati hancur Gadis Pantai meninggalkan anaknya di rumah si Bendoro.Ia malu dengan keadaannya yang tak bersuami, tak punya rumah, dan anaknya dirampas oleh Bapaknya sendiri, Gadis Pantai memutuskan untuk tidak pulang ke kampung halamannya. Tapi ia berbelok ke selatan, ke wilayah Blora. Selama sebulan setelah kepergiannya, ia selalu mengawasi keadaan rumah si Bendoro. Namun setelahnya, ia tak kelihatan lagi.
2.      Analisis novel Gadis Pantai dengan pendekatan objektif
a)      Unsur intrinsik
Merupakan unsur dari dalam yang membangun sebuah karya satra. Adapun unsur-unsur intrinsik sebuah karya sastra adalah sebagai berikut:
a.             Tema
Tema merupakan sesuatu yang menjadi dasar cerita atau ide dan tujuan utama cerita.Tema biasanya selalu berkaitan dengan penglaman-pengalaman kehidupan sosial, cinta, ideologi, maut, religius dan sebagainya.Tema yang disajikan dalam Roman ini adalah mengenai sosio-kritik dalam sistem masyarakat. Bagaimana rakyat kecil yang diwakili oleh Gadis Pantai yang menjadi istri seorang Priyayi, diperlakukan oleh Priyayi sebagai pemuas nafsunya, dijauhkan dari dunia luar yang menurut Priyayi tersebut sebagai dunia yang kotor dan ia dicampakan dan diusir oleh Priyayi tersebut dengan alasan dia tak sederajat dengannya. Adapun kritik yang ditujukan pada sistem feodalisme adalah melalui gambaran dalam cerita yang disebutkan bahwa semua yang ada di Gedung Besar adalah rakyat jelata yang harus tunduk dan patuh pada Priyayi, dan mereka tidak patut dihormati.
b.        Latar/Setting
Latar /setting dalam sebuah karya sastra dalah keterangan mengenai waktu, ruang dan suasana terjadinya lakuan. Dalam roman ‘Gadis Pantai’ menghadirkan dua latar:Pertama adalah latar fisik, merupakan latar pada lokasi tertentu atau waktu tertentu secara jelas. Latar fisik yang ditampilkan dalam roman tersebut yang utama adalah sebuah Gedung Besar di kota Rembang dengan penggambaran bentuk dan suasananya. Selain itu juga berada di daerah pesisir pantai utara pulau Jawa tepatnya kampung nelayan di Rembang dengan gambaran kondisi nelayan; Kedua adalah latar sosial, merupakan latar pada hal-hal yang berhubungan pada perilaku sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya sastra. Penceritaan latar sosial hanya menggambarkan di mana yang tergambar, yaitu dengan kondisi masyarakat kampung nelayan yang bodoh (tidak bisa baca tulis), hidup mereka hanya bergantung pada laut.Berbeda dengan kehidupan golongan Priyayi yang sangat berlebihan.
c.              Alur
Alur merupakan tahapan-tahapan peristiwa yang dihadirkan oleh para pelaku dalam sebuah cerita, sehingga membentuk suatu rangkaian cerita. Alur dapat kita perhatikan dari rangkaian-rangkaian peristiwa yang dibangunnya.Dengan demikian untuk mengetahui bagaimana alur sebuah cerita rekaan, kita perlu menyimak rangkaian peristiwa yang terdapat dalam karya yang bersangkutan.
Jenis alur yang digunakan dalam Roman ‘Gadis Pantai’ adalah alur maju, hal itu tertlihat dari rangkaian kejadian dari gadis pantai yang hidup di Kampung nelayan, berubah menjadi seorang Priyayi karena menikah dengan Priyayi pembesar kota Rembang. Dari situ kehidupan Gadis Pantai menjadi lebih baik, sampai puncaknya ketika ia dapat menyesuaikan dengan kehidupan Bendoro. Namun setelah ia melahirakan anak, ia diusir kembali dari gedung besar. Karena sesuai dengan apa yang menjadi janji Bendoro, ia tidak akan menjadikan seorang perempuan sebagai pendamping hidupnya kecuali dia sederajat denganya. Adapun pengilasan balik cerita itu hanya sebagai pendukung jalan cerita atau narasi dari roman tersebut.
Pramoedya menyajikan cerita dengan bagian awal cerita sebagai pendeskripsian tokoh utama, yaitu Gadis Pantai yang bertubuh kecil, kulit putih bersih yang hidup di Kampung. Di bagian tengahnya menghadirkan konflik baik yang terjadi dalam diri Gadis Pantai atau pun konflik dengan tokoh yang lain. Lalu akhir dari bagian cerita tersebut yaitu keadaan yang memprihatinkan yang terjadi pada diri Gadis Pantai akibat dati ‘keganasan’ praktik Feodalisme.
d.             Penokohan
Sesuai KBBI penokohan dapat diartikan sebagai pencitraan citra tokoh dalam sebuah karya sastra. Tokoh yang terdapat dalam Roman Gadis Pantai terdapat tiga tokoh.Pertama yaitu tokoh utama atau tokoh yang mendominasi cerita.Yang menjadi tokoh utama yaitu Gadis Pantai, digambarkan sebagai tokoh yang menghormati, patuh kepada orang tua dan suaminya.Ia juga selalu ingin memberontak terhadap aturan yang ada di gedung rumah Priyayi.Kedua yaitu tokoh protagonis atau tokoh yang dikagumi sesuai dengan harapan pembaca.Yang merupakan tokoh protagonis yaitu pembantu tua yang tinggal di gedung besar, yang selalu memberikan penjelsan atau memberi bantuan kepada tokoh utama.Selain itu juga ada emak dan bapaknya.Ketiga yaitu tokoh antagonis atau tokoh yang tidak disenangi pembaca karena memiliki watak yang tidak sesuai dengan harapan pembaca.Yang merupakan tokoh ini adalah Bendoro yang arogan, sombong, dan kelakuanya merupakan bagian dari sistem feodalisme.Selain bendoro juga Mardinah dan komplotannya yang berusaha menghabisi tokoh utama.Penokohan yang digambarkan Pram yaitu melalui deskripsi dan dialog antara tokoh yang satu dengan yang lain.
e.              SudutPandang
Sudut pandang adalah cara dan pandangan yang digunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita. Dalam penceritaanya Pram menggunakan sudut pandang orang ketiga (dia) maha tahu.Hal itu di tunjukan melalui deskripsi.
f.              Amanat
Amanat merupakan pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang dari sebuah karya sastra.Dalam roman ini secara eksplisit pengarang memberikan sebuah pesan mengenai kebudayaan Jawa hasil dari peninggalan jajahan Belanda yang telah menyengsarakan rakyat pribumi dan mereka membodohinya.
oh, oh, dewa sejagat kalah bengisnya
matilah dia berani tolak perintahnya
bupati mantra semua Priyayi apalagi

orang kecil yang ditakdirkan jadi kuli
dia sandang pedang tipis di pinggang kiri

tapi titahnya wah-wah lebih dahsyat lagi
laksana geledek sambar perahu dan tali-temali

sehela nafas sedepa jalan harus jadi
menggigil semua dengar namanya Guntur

semua pada takluk gunung kali dan rawa
pantai dan jalan berjajar panjang membujur

kepala kawula jadi titian orang yang kuasa ….
waktu jalan panjang sempurna jadi

kereta-kereta indah jalan tiap hari
bawa tuan-tuan nyonya-nyonya dan putra-putri
tuan besar gubernur jenderal dan para abdi (Gadis Pantai, Hlm.170-171).

Selain itu juga bila melihat dari deskripsi puisi yang dilantunkan tokoh si Dul, menandakan ketidakberdayaan rakyat, yang badan dan jiwanya telah dikuasai oleh elit kekotaan Jawa wakil setempat raja-raja tradisional di Jawa Tengah, serta orang Belanda yaitu Gubernur Jenderal Daendels.
b)     Unsur Ekstrinsik
Unsur Ekstrinsik merupakan unsur-unsur yang berada di luar karya sastra, akan tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Unsur ekstrinsik berupa:
a.             Kehidupan Pengarang
Kehidupan pengarang merupakan suatu yang mempengaruhi jenis kepengarangan para sastrawan. Di mana ia bekerja, bersekolah ataupun pergaulannya. Pramoedya Ananta Toer merupakan Sastrawan yang lahir di Blora, pada tahun 1925.Menurut sejarah Ayah Pram menikah dengan Ibunya pada saat berumur 15 tahun.Saat Pram ada konflik dengan ayahnya ibunya-lah yang paling menyayanginya dan dialah yang memperjuangkan kehidupan keluarganya walaupun dalam keadaan sakit. Maka tak heran apabila ia sangat sayang pada ibunya.
Dalam kepengaranganya Pram banyak menceritakan tentang wanita yang hampir menjadi manusia teladan, yang berani dan tabah, yang tetap memperjuangkan kemanusiaanan keadilan. Dalam Roman Gadis Pantai, Pram terinspirasi oleh seorang wanita yang tak lain adalah neneknya dari ibu, ia bernama Satimah. Satimah adalah wanita yang dijadikan selir oleh kakeknya, Penghulu Rembang.Tetapi setelah melahirkan anaknya (Ibu Pram), Satimah dienyahkan dari gedung tuannya.Satimah adalah wanita yang periang, tabah, tak kenal putus asa, rajin, dan seorang pekerja sejati.Ia dari keluarga miskin, meskipun miskin dia tetap menyayangi cucu-cucunya dengan selalu memberikan hadiah kecil. Meskipun Pram tidak tahu banyak tentang neneknya namun dari situ, nenek Satimah merupakan prototype Gadis Pantai.
b.             Keadaan Masyarakat
Pram merupakan gambaran dari masyarakat Jawa kebanyakan yang tertindas oleh Kolonial Belanda. Namun ia tidak seperti orang Jawa kebanyakan yang menyerah dengan keadaan. Pram memiliki kesadaran nasional yang kuat, ketabahanya dalam melawan segala apa yang dianggap tidak adil, pengalamanya tentang masalah-masalah sosial dalam masyarakat jawa pengertianya tentang pendidikan sebagai sarana untuk membangun bangsa dan manusia yang bebas dan merdeka. Ia hidup di mana pada saat itu penjajah belada tengah berkuasa di nusantara ini terutama di daerah jawa tengah. Pada saat itu pula praktik-praktik kolonialisme belanda, salah satunya feodalisme.Melalui karyanya Roman ‘Gadis Pantai’ Pram berusaha untuk ‘menusuk’ praktik feodalisme Jawa yang tidak mengenal adab dan jiwa kemanusiaan.
c.              Relasi Gender
Dalam Roman ini setidaknya ada empat tokoh perempuan yang ada di dalamnya, yaitu Gadis Pantai, Emak, Bujang wanita, Mardinah dan Mas Ayu (Bendoro wanita yang akan dinikahi Bendoro). Gadis Pantai adalah gadis belia yang sangat lugu, tentu saja karena ia baru berusia 14 tahun kala itu, sebelum ia dinikahi Bendoro. Ia berasal dari kalangan rakyat bawah, penduduk kampung nelayan yang miskin, ia pun buta akan ilmu pengetahuan dan tata karma. Sedangkan Bendoro adalah Priyayi yang terhormat yang memiliki pengetahuan agama yang luas.Kontras sekali dengan Mardinah.Seorang tokoh antagonis di dalam roman ini.Ia tiba-tiba dihadirkan oleh narator sebagai seorang janda, yang pernah menjadi Mas Nganten.Ia lahir di kota Semarang, ia sangat muda dan karena ia mampu membaca ia jauh lebih cerdas dari pada Gadis Pantai. Mardinah pun tahu benar bagaimana seharusnya menjadi Mas Ngaten yang baik dan benar.Karena merasa lebih pintar, dan lebih terhormat, Mardinah begitu meremehkan Gadis Pantai. Karena ia menganggap ia lebih berderajat karena ia lahir di kota sedangkan Gadis Pantai lahir di perkampungan nelayan yang miskin; Mardinah mampu membaca dan menulis, sedangkan Gadis Pantai hanya mampu membaca Al Quran saja. Ambisinya yang ingin membinasakan Gadis Pantai adalah hanya semata-mata karena ia dijanjikan untuk dijadikan istri kelima bagi Bendoro Demak jika ia berhasil menyingkirkan Gadis Pantai dan menikahkan putri Bendoro Demak dengan Bendoro (Priyayi yang menikahi Gadis Pantai).
Emak adalah ibu dari Gadis Pantai yang mengharapkan anaknya mendapat penghidupan dan derajat yang lebih baik. Bujang perempuan adalah pelayan Gadis Pantai ketika ia masih mengawali kehidupannya sebagai Mas Nganten. Sedangkan Mas Ayu adalah seorang perempuan berderajat yang akan dinikahi oleh Bendoro. Hal yang sangat mencolok dalam novel ini adalah terpisahnya ibu dan anak secara paksa, dan diceraikannya seorang Mas Nganten setelah ia melahirkan anak bagi Bendoro. Dalam masyarakat feodal nampak sekali perbedaan antara anak perempuan dan laki-laki.Berapa besarnya keinginan rakyat feodal untuk mendapatkan anak laki-laki.Hal ini dikarenakan mereka mengharapkan adanya penerus bagi mereka.Dalam masyarakat ini anak perempuan hanya dianggap sebagai pengganggu saja dan tidak dapat dibanggakan.Perempuan dianggap sebagai tempat pelepasan birahi dan melahirkan anak saja.Apa lagi jika perempuan itu berasal dari rakyat rendahan. Selain itu pula, bagi seorang perempuan yang menjadi Mas Nganten akan diceraikan begitu saja oleh Bendoro setelah ia memberikan seorang anak kepada Bendoronya.
Seperti halnya apa yang dialami Gadis Pantai dalam roman ini. Setelah masuk tahun ketiga dari pernikahannya, dan setelah ia melahirkan seorang anak yang ternyata perempuan. Betapa murkanya Sang Bendoro dan selang beberapa bulan setelah melahirkan, Gadis Pantai pun diceraikannya. Seperti kutipan berikut.
“Jadi sudah lahir dia. Aku dengar perempuan bayimu, benar?” “Sahaya, Bendoro.” “Jadicuma perempuan?”“Seribu ampun, Bendoro.”Bendoro membalikkan badan, keluar kamar sambil menutup pintu kembali. Gadis Pantai memiringkan badan, di peluknya bayinya dan diciuminya rambutnya…” (Gadis Pantai, Hlm. 253).
Gadis Pantai, seorang gadis dari kalangan rakyat rendahan, ia belum mengenal cinta dan dicintai, dan ia pun belum banyak tahu tentang kehidupan dan bahkan pengetahuan tentang etika dan tata krama rakyat feodal. Dalam usia yang sangat belia ia menjadi Mas Nganten. Kebahagiaan baginya adalah masa-masa ketika ia masih hidup di pesisir pantai, di kampung nelayan yang kumuh dan miskin, bersama kedua orang tua dan saudara-saudaranya; bermain, bercengkrama dan tertawa lepas bersama teman-temannya di antara bulir-bulir pasir hangat yang menjadi alas kakinya dan deburan ombak sebagai dendangan yang selalu mengiringi langkahnya. Semua terenggut ketika ia menjadi istri seorang Bendoro, yang walaupun dalam kehidupan Priyayi ia mendapatkan cukup makan, pakaian yang bagus dan perhiasan yang indah, namun sesingkat waktu ia dicampakkan begitu saja, anaknya terenggut paksa dari pelukkannya. Ia pun kembali menapaki hidupnya semula, sebagai Gadis Pantai dari golongan bawah.
C.    Sisi Menarik dalam Novel Gadis Pantai

1.      Perihal Mistik Kejawen

Suatu upaya sepiritual pendekatan diri kepada Tuhan yang dilakukan sebagian masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa yang mayoritas beragama Islam hingga sekarang belum bias meninggalkan tradisi dan budaya Jawanya. Di antara tradisi dan budaya ini terkadang bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Tradisi dan budaya Jawa ini sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Jawa, terutama yang abangan. Di antara tradisi dan budaya ini adalah keyakinan akan adanya roh-roh atau benda-benda pusaka leluhur yang memiliki kekuatan ghaib, melakukan upacara-upacara ritual yang bertujuan untuk persembahan kepada tuhan atau meminta berkah serta terkabulnya permintaan tertentu.

Setelah dikaji inti dari tradisi dan budaya tersebut, terutama dilihat dari tujuan dan tatacara melakukan ritus-nya, jelaslah bahwa semua itu tidak sesuai dengan ajaran Islam. Begitu juga bentuk-bentuk ritual yang mereka lakukan jelas bertentangan dengan ajaran ibadah dalam Islam yang sudah ditetapkan dengan tegas dalam al-Quran dan hadis Nabi Saw. Karena itulah, tradisi dan budaya Jawa seperti itu sebenarnya tidak sesuai dengan ajaran Islam dan perlu diluruskan atau sekalian ditinggalkan.

Menurut Simuh (1996 : 110), masyarakat Jawa memiliki budaya yang khas terkait dengan kehidupan beragamanya. Menurutnya ada tiga karakteristik kebudayaan Jawa yang terkait dengan hal ini, yaitu:

a.       Kebudayaan Jawa pra Hindhu-Buddha Kebudayaan masyarakat Indonesia, khususnya Jawa, sebelum datangnya pengaruh agama Hindhu-Buddha sangat sedikit yang dapat dikenal secara pasti. Sebagai masyarakat yang masih sederhana, wajar bila nampak bahwa sistem animisme dan dinamisme merupakan inti kebudayaan yang mewarnai seluruh aktivitas kehidupan masyarakatnya. Agama asli yang sering disebut orang Barat sebagai religion magis ini merupakan nilai budaya yang paling mengakar dalam masyarakat Indonesia, khususnya Jawa.
b.      Kebudayaan Jawa masa Hindhu-Buddha Kebudayaan Jawa yang menerima pengaruh dan menyerap unsur-unsur Hindhu-Buddha, prosesnya bukan hanya sekedar akulturasi saja, akan tetapi yang terjadi adalah kebangkitan kebudayaan Jawa dengan memanfaatkan unsur-unsur agama dan kebudayaan India. Ciri yang paling menonjol dalam kebudayaan Jawa adalah sangat bersifat teokratis. Masuknya pengaruh Hindhu-Buddha lebih mempersubur kepercayaan animisme dan dinamisme (serba magis) yang sudah lama mengakar dengan cerita mengenai orang-orang sakti setengah dewa dan jasa mantra-mantra (berupa rumusan kata-kata) yang dipandang magis.
c.       Kebudayaan Jawa masa kerajaan Islam Kebudayaan ini dimulai dengan berakhirnya kerajaan Jawa-Hindhu menjadi Jawa- Islam di Demak. Kebudayaan ini tidak lepas dari pengaruh dan peran para ulama sufi yang mendapat gerlar para wali tanah Jawa. Perkembangan Islam di Jawa tidak semudah yang ada di luar Jawa yang hanya berhadapan dengan budaya lokal yang masih bersahaja (animisme-dinamisme) dan tidak begitu banyak diresapi oleh unsur-unsur ajaran Hindhu-Buddha seperti di Jawa. Kebudayaan inilah yang kemudian melahirkan dua varian masyarakat Islam Jawa, yaitu santri dan abangan, yang dibedakan dengan taraf kesadaran keislaman mereka. [2]

2.      Masalah Patriaki dalam Jawa

Pemahaman patriaki akan ‘pengkotak-kotakan’ peran laki-laki dan perempuan saat ini masih mendarah daging terutama bagi masyarakat menengah ke bawah yang kurang memberikan pemahaman akan kesetaraan antara hak perempuan dan laki-laki. Budaya patriarki hanya mempersulit dan merugikan posisi perempuan dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu bisa dilihat dengan masih banyaknya orang tua yang memiliki anggapan bahwa perempuan hanya sebagai konco wingking atau bisa diperjelas dengan “setinggi-tingginya taraf pendidikan, seorang perempuan hanya akan berada di dapur”. Bahkan tak jarang kita melihat teman-teman di sekitar kita yang langsung dijodohkan setelah lulus SMA, atau bahkan masih SMP. sungguh mengelus dada ketika budaya semacam itu masih tumbuh liar di mana-mana.

Perempuan tidak dapat tampil dalam ruang-ruang publik, mereka tidak boleh keluar rumah untuk mendermakan kemampuan dan keahlian yang tersimpan bagi kemaslahatan masyarakat, bahkan mereka dicegah untuk mendapatkan hak-hak memperoleh pendidikan yang layak. Hal mengenaskan justru perlakuan diskriminatif ini lahir karena keyakinan mereka demi menjaga kesucian perempuan, menjauhkannya dari fitnah, mencegahnya dari perlakuan tidak senonoh dari lelaki bejat dan lain-lain. Maka tidak ada cara lain, yang ada dalam cara pikir masyarakat awam (baca; primitif) kecuali mengurung perempuan untuk tidak keluar dari rumahnya, dengan dalih menjaga kesucian tersebut.

Hal itu pula yang tergambar jelas dalam novel Gadis Pantai, bisa disimpulkan meskipun secara tersirat bahwasanya sang Bendoro hanya memperlakukan isterinya dengan perlakukan sebagaimana mestinya, ketika sang isteri memberikan keturunan laki-laki kepadanya. Namun, bila tidak nasib sang isteri akan ditelantarkan dan anak keturunannya akan dirampas. Tampak dalam kutipan berikut :
“kemarin malam ia telah dinikahkan. Dinikahkan dengan sebilah keris. Detik itu ia tahu : kini ia bukan anak bapaknya lagi. Ia bukan anak emanya lagi. Kini ia istri sebilah keris, wakil seseorang yang tak pernah dilihatnya seumur hidup.” (Gadis Pantai, Hlm. 12).
Tampak sekali budaya patriaki di Jawa ketika itu sangat kental, dan benar-benar semua harapan yang disandang kaum perempuan yang notabene sebagai ibu yang melahirkan.
3.      Teori Sosial Politik diawali dengan pembahasan mengenai Feodalisme.

Dalam buku Filsafat Sejarah yang ditulis oleh Georg Wilhelm Friedrich Hegel, ia menjelaskan bahwa feodalisme mulai berkembang pada zaman pertengahan dimana terdapat reaksi bahwa para individu melawan otoritas yang sah dan kekuasaan eksekutif dari kedaulatan universal kerajaan Frank. Universalitas kekuasaan negara lenyap lewat reaksi ini : individu mencari perlindungan dengan kekuatan dan akhirnya menjadi penindas. Jadi secara berangsur-angsur melahirkan kondisi ketergantungan universal, dan hubungan perlindungan ini akhirnya disistematisasikan menjadi sistem feodal. Feodalisme itu sendiri adalah pendelegasian kekuasaan sosial politik yang dijalankan kalangan bangsawan atau monarkhi untuk mengendalikan berbagai wilayah yang dimilikinya melalui kerja sama dengan pemimpin-pemimpin lokal sebagai mitra, dalam pengertian lain, struktur ini diberikan oleh sejarawan pada sistem politik Eropa pada abad pertengahan yang menempatkan ksatria dan kelas bangsawan lainnya sebagai penguasa kawasan atau hak tertentu yang ditunjuk oleh monarkhi. Monarkhi merupakan suatu bentuk pemerintahan yang dipimpin oleh seorang raja yang mempunyai kekuasaan yang absolut atau mutlak atas rakyatnya [3]

Terkait dengan novel Gadis Pantai yang rupawan berhasil menarik hati seorang pembesar di kota. Keluarganya pun membawa gadis lugu itu ke rumah sang Bendoro. Gadis Pantai, yang menstruasi pun belum, dinikahkan dengan Bendoro.
Untuk apa seorang ningrat, di zaman feodal seperti itu, memperistri orang rendahan dari Kampung Nelayan.

Jawabannya hanya satu.Gadis Pantai ada di rumah mewah itu hanya sebagai pemuas nafsu Bendoronya sampai lelaki itumendapatkanwanita, yang juga ningrat, sebagai pendamping. Jahat? Tentu saja, tetapi bukan berarti tak nyata. Aku percaya sepenuh hati bahwa dulu feodalisme Jawa memang sekejam itu. Sangat ketat akan aturan dan unggah-ungguh. Tata krama Jawa tidak ada yang bisa mengalahkan. Apalagi di Keraton. Jangan ditanya. Kalau perlu para abdinya disuruh menjilati telapak kaki sang raja.

Kehidupan Gadis Pantai di rumah mewah Bendoro bagai neraka. Ia pelan-pelan belajar banyak hal. Membatik, menulis, menjahit, dan pekerjaan wanita lainnya. Namun, tetap saja, orang rendahan tetap orang rendahan. Gadis Pantai, walau sudah menjadi Mas Nganten, tetap saja menerima hinaan dan cacian. Baik dari anak-anak Bendoro sendiri, atau dari orang lain. Ia bahkan hampir dibunuh oleh orang suruhan kerabat Bendoro yang menginginkan Bendoro menikah dengan wanita yang satu kasta.

Pada akhirnya, hidup memang tidak pernah memihak pada Gadis Pantai. Ia mengandung lalu melahirkan anak perempuan. Seperti Mas Nganten lainnya sebelum dia, Gadis Pantai lalu diceraikan Bendoro dan harus pulang tanpa membawa anak yang sudah dilahirkannya. Namun, itulah yang terjadi, setelah seorang Mas Nganten melahirkan satu anak, ia harus pergi.

Gadis Pantai pun tak kuasa melawan aturan dan segala feodalisme itu seorang diri. Ia menyerah dan meninggalkan anaknya di rumah sang Bendoro. Dengan harapan bahwa sang anak tidak perlu menjadi orang rendahan yang mati susah hidup pun segan. Ia akan menjadi anak Bendoro, tinggal di rumah bagus dan diakui derajatnya. Setidaknya itu pikiran Gadis Pantai. Namun, ia pun tak mampu untuk kembali ke kampungnya. Ia memilih pergi ke Blora dan memulai hidup baru seorang diri.

D. Relevansi Fenomena Feodalisme Jawa Dengan Konteks Ke Kinian

a.      Fenomena Feodalisme Jawa
Dalam novelnya ini, Pramoedya mengusung perlawanan terhadap feodalisme Jawa. Hal ini dinyatakan dalam bentuk kehidupan si Gadis Pantai yang berasal dari kelas remdah dan kemudian dinikahi oleh pembesar. Penyadaran-penyadaran akan nasib kaum teralienasi itu disampaikan Pramoedya dalam bentuk narasi-narasi yang menceritakan ketertekanan gadis pantai menjalani hidupnya di bawah bayang-bayang suaminya yang berasal dari kelas lebih tinggi dari dirinya.

Pramoedya seolah menegaskan bahwa feodalisme Jawa selayaknya dihapuskan karena menciptakan kesenjangan sosial dan memperburuk kehidupan masyarakat. Dalam sebuah dialog dinyatakan, “Ya, orang kebanyakan seperti sahaya inilah, bekerja berat tapi makan pun hampir tidak.” (Gadis Pantai, Hlm. 54).

Kesenjangan sosial tersebut berdampak buruk pada psikologi tokoh dan status sosialnya di masyarakat, seperti dalam cuplikan dialog: Bapak? mengapa bapak segan menatap aku? anaknya sendiri. dan bumi di bawah kakinya terasa goyah. Kampung nelayan ini telah kehilangan perlindungan yang meyakinkan baginya. Sedang di belakang terus mengikuti mata-mata Bendoro yang tak dapat dikebaskan dari bayang-bayangnya. Ia masih kenal benar siapa-siapa yang menjemputnya—tetangga-tetangganya. Ada yang dulu menjewernya. Ada yang mendongenginya. Ada yang pernah mengangkat dan menggendongnya sewaktu habis jatuh dari pohon jambu. ada yang sering dibantunya menunggu dapur. Dan ada bocah-bocah kecil yang digendongnya dulu. Antara sebentar ia dengar kata Bendoro Putri! Bendoro! Bendoro! Bendoro Putri! kata itu mendengung memburu. Mengiris dan meremas di dalam otaknya. Bendoro! Bendoro Putri! Bendoro! Bendoro Putri! Dan berpasang-pasang mata yang menunduk hormat bila tertatap olehnya seakan menyindirnya: semu, semu, semua semu! (Gadis Pantai, Hlm. 165).

Sesuai dengan tujuan aliran realisme sosialis, novel ini memperjuangkan kelas proletar—yang diwakili oleh tokoh gadis pantai, agar tidak terdapat lagi masyarakat berkelas-kelas. Novel ini di samping mencerminkan kenyatan sosial pada masa itu di Jawa juga menyuarakan perlawanan terhadap kelas tinggi dalam masyarakat Jawa dalam novel ini diwakili oleh tokoh Bendoro.

b.      Sikapan Feodalisme Dalam Kebudayaan
Dari novel Gadis Pantai, didapatkan unsur sosial budaya yang melatarbelakangi penciptaannya, yaitu tentang sistem sosial dalam budaya masyarakat Jawa pada masa novel ini ditulis. Masyarakat Jawa terbagi menjadi tiga tipe yang mencerminkan organisasi moral kebudayaan, yaitu kebudayaan abangan, santri, dan priyayi. Kaum abangan adalah penganut kejawen yang sangat percaya akan adanya makhluk halus yang mempengaruhi kehidupan manusia,  seperti dalam praktek-praktek pengobatan, santet, magi dan  magis.
                                              
Yang kedua yaitu Santri, suatu golongan yang menjalankan kaidah-kaidah agama Islam secara murni. Golongan ini biasanya terisi dari kalangan pedagang dan sebagian kecil petani. Sedangkan golongan priyayi adalah mereka yang kebangsawanannya dimiliki secara turun-temurun. Mereka tidak menekankan diri pada elemen animistik milik para abangan, elemen keIslaman yang biasa dilakukan oleh para santri.  Namun mereka lebih menitikberatkan kepada elemen-elemen Hinduisme yang secara luas dihubungkan dengan unsur-unsur birokratis.
Priyayi memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan orang kebanyakan, mereka hidup berkecukupan, seperti terlihat dari cuplikan dialog: “Ya, orang kebanyakan seperti sahaya inilah, bekerja berat tapi makan pun hampir tidak.” (Gadis Pantai, Hlm. 54), dan : ”Bagi orang sudah tua seperti sahaya ini, siapa yang beri makan di sana? semua pada hidup susah.” (Gadis Pantai, Hlm. 55). Kemudian pada cuplikan dialog: ”Tambah mulia seseorang, Mas Nganten, tambah tak perlu ia kerja. Hanya orang kebanyakan yang kerja.”(Gadis Pantai, Hlm. 68). Serta  cuplikan dialog :
”Kalau ada nasib, Bapak suka jadi priyayi?”
”Itulah yang dicitakan setiap orang.”
”Kalau Bapak tahu bagaimana mereka hidup di sana...”
”Setidak-tidaknya mereka tak mengadu untung setiap hari. Setidak-tidaknya
mereka tidak berlumuran kotor setiap hari.” (Gadis Pantai, hal 181).

Dan tugas bagi orang yang kedudukannya lebih rendah adalah mengabdi kapada para priyayi tersebut, seperti dalam cuplikan dialog:
”Apa salahku?”
”Salah Mas Nganten seperti sahaya, salah kita, berasal dari orang
kebanyakan.”
”Lantas Mbok, lantas?”
”Kita sudah ditakdirkan oleh orang yang kita puji dan yang kita sembah buat
jadi pasangan orang rendahan. Kalau tidak ada orang-orang rendahan, tentu
tidak ada orang atasan.”
”Aku ini, Mbok, aku ini orang apa? rendahan? atasan?”
”Rendahan Mas Nganten, maafkan sahaya, tapi menumpang di tempat atasan.”
”Jadi apa yang mesti aku perbuat?”
”Ah, beberapa kali sudah sahaya katakan. Mengabdi, Mas Nganten. Sujud,
takluk sampai tanah pada Bendoro...” (Gadis Pantai, Hlm. 99).

Para priyayi menganggap, orang dengan kelas lebih rendah dari dirinya adalah miliknya sepenuhnya. Oleh karena itu, ia berhak mengatur kehidupan mereka. Seperti dalam cuplikan dialog: ”Kau milikku. Aku yang menentukan apa yang kau boleh dan tidak boleh, harus dan mesti kau kerjakan. Diamlah kau sekarang. Malam semakin larut.” (Gadis Pantai, Hlm. 136).

Oleh karena itu, priyayi harus dihormati dan diperlakukan seolah-olah  raja oleh para kelas yang lebih rendah, hal ini tercermin dalam cuplikan dialog: ”Pada aku ini, Mas Nganten tak boleh sebut diri sahaya. Itu kata hina bagi penyebut di hadapan dan untuk Mas Nganten.” (Gadis Pantai, hal. 27). Dan pada cuplikan dialog ”Tidak mungkin orang kampung memerintah anak priyayi. Tidak bisa. Tidak mungkin.” (Gadis Pantai, Hlm. 127).

Jika seorang priyayi menikah dengan gadis dari tingkat kelas yang lebih rendah, maka gadis itu belum dianggap sebagai istri sahnya. Priyayi itu masih dianggap perjaka jika belum menikah dengan wanita dari kalangan yang sederajat dengannya. Seperti terlihat dari cuplikan dialog : 
”Jadi Mas Nganten tahu siapa sahaya. Seseorang yang kebangsawanannya lebih tinggi dari Bendoro telah perintahkan sahaya kemari. Sudah waktunya Bendoro kawin benar-benar dengan seorang gadis yang benar-benar bangsawan juga. Di Demak sudah menunggu. Siapa saja boleh Bendoro ambil, sekalipun sampai empat.” (Gadis Pantai, Hlm. 132).
Lalu :
”Perjaka? jadi aku ini apanya?”
”Apa mesti sahaya katakan? Bendoro masih perjaka sebelum beristrikan
wanita berbangsa.” (Gadis Pantai, Hlm. 155).

Pada cerita Gadis Pantai ini ditulis dengan teknik naratif ”orang ketiga mahatahu”. Karena dalam novel tersebut narator berada diluar cerit, tetapi mengetahui hampir semua hal makan pikiran, perasaan, perbuatan tokoh-tokoh dalam crita serta lingkungan yang ada disekitarnya. Karena ia tidak terikat pada satu tokoh maka ia dapat bergerak bebas masuk pada diri tokoh-tokoh yang lain, juga permasalahan yang ada.

Narator membuka tabir antara Bendoro dan rakyat dari kampung nelayan yang miskin. Ia memberikan sebuah kritikan terhadap kesenjangan yang terjadi diantara mereka. Kriktikan terhadap anggapan bahwa bangsa priyayi adalah orang-orang suci yang dekat dengan Tuhan, dengan agama, dan orang miskin adalah orang-orang hina yang dikutuk-Nya. Narator juga menggambarkan perbedaan dalam strata sosial, terutama dalam perihal pangan dan makan. Orang seperti Bendoro makan dengan gaya Eropa, baik makanannya maupun tata cara makannya. Mereka mengikuti orang barat, karena mereka beranggapan orang barat itu manusia yang berderajat tinggi.
Tak perlulah kalau kau tak suka.Aku tahu kampung-kampung sepanjang pantai sini.Sama saja, sepuluh tahun yang lalu aku juga pernah datang ke kampungmu.Kotor, miskin, orangnya tak pernah beribadah.Kotor itu tercela, tidak dibenarkan oleh orang yang tahu agama.dimana banyak terapat kotoran, orang-orang di situ kena murka Tuhan, rejeki mereka tidak lancer, mereka miskin. (Gadis Pantai, Hlm. 41).

Novel ini nantinya akan menceritakan kehidupan Gadis Pantai ketika ia menjadi Mas Nganten dan hingga akhirnya dicampakkan begitu saja oleh Bendoro setelah ia melahirkan seorang bayi perempuan, kerangka sikap narator diatas sekaligus kerangka sikapnya terhadap feodalisme Jawa yang tergambar pada sosok Bendoro. Sangat jelas sekali, narator berpihak kepada Gadis Pantai sebagai rakyat kecil yang merangkak diantara feodalisme Jawa.Kepasrahan rakyat bawah dalam menerima nasibnya sebagai kutukan Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar